23 Desember 2012

TEORI KEDUDUKAN QADLA DAN QADAR



1.      Pengertian Iman Kepada Qadha dan Qadar
Menurut bahasa Qadha memiliki beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan, pemerintah, kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan Qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar arti qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun menurut Islam Qadar adalah perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya.
Allah Berfirman : yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan-Nya, dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS .Al-Furqan ayat 2).
Seorang Mukmin harus benar-benar mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk, manis maupun pahit. Dia juga harus percaya bahwa semua yang ada dan yang terjadi dari sejak awal sampai hari kiamat kelak sudah menjadi ketetapan Allah. Tidak ada seorang manusia pun dapat melarikan diri dari takdir yang telah ditetapkan di dalam Lauh al-Mahfudz. Selain itu, dia juga harus percaya seandainya ada orang yang berusaha sekuat tenaga untuk dapat mengambil manfaat dari orang lain yang tidak ditakdirkan oleh Allah, niscaya dia tidak akan pernah mendapatkannya. Demikian juga jika orang itu berusaha keras untuk mencelakai orang lain yang tidak ditakdirkan oleh Allah, niscaya dia tidak akan pernah dapat mencelakainya.
Diriwiyatkan dari Zaid bin Wahab, dari ‘Abdullah bin Mas’ud r.a, dia menceritakan, Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya penciptaan salah seorang diantara kalian adalah dimulai dengan dikumpulkan di dalam rahim ibunya selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah, kemudian menjadi segumpal daging, kemudian diutus kepadanya malaikat untuk menetapkan empat hal, yaitu : rezeki, ajal, amalnya, serta apakah dia sengsara atau bahagia. Demi Zat yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya salah seorang di antara kalian akan mengerjakan amalan penghuni surga, hingga antara dirinya dengan surga tinggal satu hasta, lalu takdir telah menetapkannya bahwa dia akan mengerjakan amalan penghuni surga sehingga dia pun masuk surga.”(Muttafaq ‘alaih)
Sedangkan dalam Shahih Bukhari, dari jalan lain yang disebutkan, “Mengapa kita tidak bersandar pada kitab (catatan) kita saja dan meninggalkan amal, karena orang yang termasuk golongan yang berbahagia akan diarahkan kepada amal orang-orang yang berbahagia. Sedangkan orang yang termasuk golongan sengsara akan diarahkan kepada amal orang-orang yang sengsara.”
Diriwiyatkan dari Abu Zubair bin ‘Abdullah, dia menceritakan bahwa Suraqah bin Malik bin Ju’syam datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepada kami tentang agama kami, sehingga seolah-olah kami diciptakan sekarang. Lalu untuk apa amal kami sekarang, apakah untuk sesuatu yang telah dituliskan (ditetapkan) oleh pena dan telah menjadi ketetapan takdir unutk amal yang aka dikerjakan ? “Lebih lanjut dia bertanya, “Lalu untuk apa amal perbuatan ? “Beliau menjawab, “Berbuatlah, karena masing-masing akan diberikan kemudahan.”(HR Muslim)
1.      Hubungan antara qadha dan qadar
Pada uraian tentang pengertian qadha dan qadar dijelaskan bahwa antara qadha dan qadar selalu berhubungan erat . Qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha qadar ibarat rencana dan perbuatan.
Perbuatan Allah berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan ketentuan-Nya. Di dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah berfirman, ” Dan tidak sesuatupun melainkan disisi kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.”
Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan qadar dengan satu istilah, yaitu Qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah, lalu orang tersebut mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar.
2.      Kewajiban beriman kepada qadha dan qadar
Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-laki yang berpakaian serba putih , rambutnya sangat hitam. Lelaki itu bertanya tentang Islam, Iman dan Ihsan. Tentang keimanan Rasulullah menjawab yang artinya: Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaekat-malaekat-Nya, kitab-kitab-Nya,rasul-rasulnya, hari akhir dan beriman pula kepada qadar(takdir) yang baik ataupun yang buruk. Lelaki tersebut berkata” Tuan benar”. (H.R. Muslim)
Lelaki itu adalah Malaekat Jibril yang sengaja datang untuk memberikan pelajaran agama kepada umat Nabi Muhammad SAW. Jawaban Rasulullah yang dibenarkan oleh Malaekat Jibril itu berisi rukun iman. Salah satunya dari rukun iman itu adalah iman kepada qadha dan qadar. Dengan demikian , bahwa mempercayai qadha dan qadar itu merupakan hati kita. Kita harus yakin dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan adalah atas kehendak Allah.
Sebagai orang beriman, kita harus rela menerima segala ketentuan Allah atas diri kita. Di dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman yang artinya: ” Siapa yang tidak ridha dengan qadha-Ku dan qadar-Ku dan tidak sabar terhadap bencana-Ku yang aku timpakan atasnya, maka hendaklah mencari Tuhan selain Aku. (H.R.Tabrani)
Takdir Allah merupakan iradah (kehendak) Allah. Oleh sebab itu takdir tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan keinginan kita, hendaklah kita beresyukur karena hal itu merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu ada hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui atas apa yang diperbuatnya.
3.      Hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar
Iman kepada qadha dan qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menentukan tentang segala sesuatu bagi makhluknya. Berkaitan dengan qadla dan qadar, Rasulullah SAW bersabda yang artinya sebagai berikut yang artinya ”Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menjadi segumpal daging, kemudian Allah mengutus malaekat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yaitu tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan (jalan hidupny) sengsara atau bahagia.” (HR.Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah ditentukan Allah sejak sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, tidak berarti bahwa manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha dan ikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak datang dengan sendirinya.

Mengenai hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar ini, para ulama berpendapat, bahwa takdir itu ada dua macam :
1.      1.Takdir mua’llaq: yaitu takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Contoh seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk mencapai cita-citanya itu ia belajar dengan tekun. Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian.
2.      2.Takdir mubram; yaitu takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia. Contoh. Ada orang yang dilahirkan dengan mata sipit , atau dilahirkan dengan kulit hitam sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya.
FUNGSI IKHTIAR DAN DOA
Dianjurkan kita berdo’a kepada Allah, bukan berarti kita hanya berdo’a saja sambil menunggu datangnya pertolongan dari Allah tanpa dibarengi dengan usaha dan ikhtiar. Umpamanya, kita memohon rizqi tanpa dibarengi usaha mencari rizqi dengan bekerja serta mencurahkan segala kemampuan, maka tidak mungkin rizqi itu akan datang dengan sendirinya. Jadi, do’a dan ikhtiar itu adalah satu- satunya jalan untuk mencapai sesuatu yang salah satunya tidak boleh kita tinggalkan.
Berdo’a tanpa dibarengi dengan ikhtiar adalah salah besar, begitu pula dengan ikhtiar tanpa dibarengi dengan do’a. Tentunya kita ingat akan cerita Qarun yang kaya. Dia menjadi sombong karena beranggapan bahwa kekayaan yang diperolehnya itu adalah hasil dari usahanya sendiri tanpa bantuan yang lain. Akibatnya, dia tidak memikirkan nasib orang miskin, karena itu lalu Allah menumpasnya. Qarun dan harta kekayaannya ditenggelamkan ke dalam bumi, hingga sampai sekarang bila ada orang menemukan harta dari perut bumi disebut harta karun (Qarun).
Memohon kepada Allah boleh- boleh saja, asal tidak terlalu muluk (mustahil terjadi). Karena hal- hal yang mustahil, tentu saja tidak boleh kita mohonkan, karena akal tidak menerima wujudnya. Sementara hal- hal yang mungkin terjadi diharuskan kita berdo’a kepada-Nya, dan hal ini merupakan perintah dari Allah SWT sendiri.
Alhasil, hendaknya kita berdo’a sambil berusaha. Di samping itu hendaklah ia menyadari, bahwa manusia hanyalah berusaha, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Kesudahannya dari segala sesuatu ada di ”Tangan” Allah Yang Maha Kuasa. Kewajiban manusia hanyalah berusaha dan berdo’a.
Do’a merupakan manifestasi atau perwujudan sikap tawakkal manusia kepada Allah. Mengapa demikian?
Sebab di dalam do’a terdapat ikhtiar manusia , ketergantungan hati terhadap Allah, penyerahan diri, kepercayaan dan keyakinan terhadap janji-Nya.
Ikhtiar berarti berusaha atau melakukan sebab. Sebagai manusia, kita diperintahkan untuk melakukan usaha atau sebab-sebab dalam segala hal. Tentunya hal ini berhubungan dengan sikap tawakkal.
Dianjurkannya kita berdo’a kepada Allah, bukan berarti kita hanya berdo’a saja sambil menunggu datangnya pertolongan dari Allah tanpa dibarengi dengan usaha dan ikhtiar. Umpamanya, kita memohon rizqi tanpa dibarengi usaha mencari rizqi dengan bekerja serta mencurahkan segala kemampuan, maka tidak mungkin rizqi itu akan datang dengan sendirinya. Jadi, do’a dan ikhtiar itu adalah satu- satunya jalan untuk mencapai sesuatu yang salah satunya tidak boleh kita tinggalkan.
Berdo’a tanpa dibarengi dengan ikhtiar adalah salah besar, begitu pula dengan ikhtiar tanpa dibarengi dengan do’a. Tentunya kita ingat akan cerita Qarun yang kaya. Dia menjadi sombong karena beranggapan bahwa kekayaan yang diperolehnya itu adalah hasil dari usahanya sendiri tanpa bantuan yang lain. Akibatnya, dia tidak memikirkan nasib orang miskin, karena itu lalu Allah menumpasnya. Qarun dan harta kekayaannya dibenamkan ke dalam bumi, hingga sampai sekarang bila ada orang menemukan harta dari perut bumi disebut harta karun (Qarun).
Kita tahu bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa sebab.  Allah telah menetapkan bahwa alam ini akan berjalan sesuai dengan hukum sebab akibat, karena hidup itu hukum timbal balik dari semua hal, juga karena Allah menciptakan semua hal secara berpasang-pasangan, walaupun terkadang ada sebagian hal yang dapat berjalan tanpa sebab kebiasaan, dan itu untuk menunjukkan kekuasaan-Nya. Seperti contoh, untuk mencapai tingkat bahagia, kita harus sedih dahulu, karena rasa senang dan sedih itu selalu melekat pada hidup, absurd kalau tidak ada. 
Demikian sepenggal pesan Allah SWT dalam Al-Quran. Meminta (berdo’a) memang diperintahkan-Nya. Meminta apa pun, sejauh pesan-pesan yang menjadi muatan utama permintaan itu adalah untuk kebaikan dan dipandang baik menurut Allah dan Rasul-Nya. Tapi cukupkah dengan cara itu Tuhan akan menumpahkan apa yang kita minta?
 Do’a bukanlah sekadar proses meminta. Do’a pada hakikatnya merupakan cara untuk mempertemukan antara kehendak makhluk dengan kehendak-Nya. Jika ada dua kehendak yang berlainan, maka Tuhan akan menunjukkan pilihan yang terbaik buat hamba-hamba-Nya. Termasuk pilihan untuk tidak mendapat apapun dari apa yang kita minta. Tidak ada do’a yang sia-sia.
Karena itu, do’a tidak bisa berdiri sendiri. Do’a baru merupakan satu sisi, dari dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Untuk melengkapi sisi tersebut, diperlukan sisi yang lainnya yaitu ikhtiar. Melalui proses ikhtiar inilah seseorang dapat memperoleh jawaban Allah, apakah do’anya akan memberikan makna atau tidak bagi kehidupannya.
Proses ikhtiar juga berfungsi untuk menguji secara empirik apakah do’a itu “realistik” menurut ukuran kemanusiaan atau tidak. Sebab Allah sendiri tidak pernah memberikan beban ikhtiar yang terlalu berat dan dipandang tidak mampu oleh para pelakunya.
Jadi, do’a sebetulnya tidak hanya menggambarkan sikap jabariyah, tapi juga merupakan wujud sikap qadariyah seseorang. Dalam do’a ada kepasrahan, dalam pengertian tulus atas segala keputusan Tuhan; dan dalam do’a juga ada optimisme rasional yang akan menjadi kekuatan pendorong semangat melakukan usaha. Itulah sebabnya, berdo’a harus diikuti oleh kesadaran psikologis bahwa Allah akan memenuhi segala yang dipintanya. Kesadaran optimisme seperti ini sekaligus menafikan sikap buruk sangka kepada diri sendiri, dan kesadaran yang utuh akan sifat Rahman-Rahimnya Allah.
HIKMAH IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR
Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Hikmah tersebut antara lain:
1.      Melatih diri untuk banyak bersyukur dan bersabar
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian.
Firman Allah: 
ومابكم من نعمة فمن الله . ثمّ إذامسّكم الضرّ فإليه تجئرون
Artinya: ”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan. ” ( QS. An-Nahl ayat 53).

2.      Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa
Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah ketentuan Allah.
Firman Allah SWT: 
يٰبنيّ اذهبوا فتحسّسوا من يوسف وأخيه ولاتيئسوا من روح الله . إنه لا ييئس من روح الله إلاّ القوم الكافرون
Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya, dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.                         (QS.Yusuf ayat 87)
Sabda Rasulullah SAW yang artinya” Tidak akan masuk sorga orang yang didalam hatinya ada sebiji sawi dari sifat kesombongan.”( HR. Muslim)

3.   Memupuk sifat optimis dan giat bekerja
        Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadla dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu.
4.      Menenangkan jiwa
      Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senangtiasa mengalami ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi.
Allah berfirman :
يا ايّتها النفس المطمئنة . إرجعي إلى ربك را ضية مر ضية . فادخلي في عبادي . وادخلي جنتى
Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam sorga-Ku.                         ( QS. Al-Fajr : 27-30)
REALISASI BERTAUHID YANG BENAR
Merealisasikan Tauhid
Orang yang beriman tentu ingin membuktikan keimanannya sehingga dia dinobatkan sebagai seorang mukmin sejati. Tidak ada jalan untuk mewujudkan harapan yang mulia ini melainkan dengan merealisasikan tauhid kepada Pencipta Langit dan Bumi, yakni Allah .
Merealisasikan tauhid secara sempurna adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari campuran syirik besar maupun kecil, baik yang jelas atau tersembunyi. Peribadahan yang dilakukan harus terbebas pula dari kebid’ahan dan dosa besar yang dilakukan terus-menerus. Maka, seorang yang berkemauan untuk merealisasikan tauhid secara sempurna harus memenuhi kriteria sebagaimana yang diutarakan di atas.

Tauhid dan realisasi ketauhidan
Selama ini, kita seakan telah bertauhid; mengesakan Allah swt. Tetapi apakah penauhidan itu benar-benar mengakar dalam praktik kehidupan kita? Masih susah memastikannya.
Dari sini terlihat, bahwa sebenarnya, telah terjadi pemisahan besar, antara pengesaan kita terhadap Allah swt pada level aqidah ketuhanan (tauhid uluhiyah), dengan penauhidan kita
terhadap Allah swt dalam susah-senang kehidupan (tauhid Rububiyah). Keduanya ternyata saling mensyaratkan; keyakinan kita kepada Allah swt sebagai Tuhan, harus dibarengi dengan keyakinan bahwa Allah swt-lah yang mengatur, mengurusi, dan membimbing segenap praktik hidup, mulai dari soal rezeki, karir, jodoh, nasib, cita-cita, dsb. Jadi, menurut hikmah ini, seorang muslim belum bertauhid, selama ia masih meyakini bahwa kerjanya itulah (bukan Allah swt) yang memberi rezeki.
Seorang muslim boleh taat sholat, tetapi ketika ia lebih takut kepada (PHK) atasannya, daripada keyakinan dia akan Maha Pemberi Rezeki (Allah swt), maka ia bisa dikatakan lebih menuhankan si bos tersebut, daripada Allah swt. Pada titik inilah, seluruh sholatnya sia-sia, karena ia tak sepenuhnya menghadapkan diri ke Haribaan-Nya. Hal sama terjadi pada level syar’i. Ketika seorang muslim mengikrarkan diri bertauhid, namun dalam kerjanya tak sesuai dengan aturan Allah swt, maka ia belum disebut bertauhid. Penuhanan Allah swt pada level batin dan ibadah ritual, haruslah dibuktikan dengan penuhanan Allah swt, melalui jalan hidup yang sesuai dengan syari’at-Nya.
Apa yang di maksud dengan tauhid Uluhiyah dan tauhid Rububiyah? Kenapa dalam soal tauhid, harus ada dua model ini?
Terlebih dahulu kita perlu memilah antara istilah tauhid dan Ahad. Tauhid itu khan menyatukan, atau menganggap satu. Dalam Islam, penggunaan kata Ahad menunjukkan makna tunggal yang tak berbilang. Makanya, sejauh kata Ahad ini sebagai kata sifat, kata Ahad ini hanya milik Allah swt. Maka untuk mengatakan orang itu satu, tak bisa menggunakan syahsun Ahad, tetapi al-syahsu al-wahid. Kenapa? Karena satunya saya dengan Satunya Tuhan itu berbeda. Kalau satunya saya merupakan lawan dari dua, tiga, empat, dsb. Tetapi kenapa dalam tauhid ada terma, failaahukum ilaahun waahid, tidak failaahukum ilaahun Ahad. Karena al-Qur’an menyatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk punya banyak tuhan. Sehingga kata wahid tadi bermaksud menyangkal anggapan orang bahwa ada tuhan banyak.

Tauhid sebagai proses penauhidan itu, maknanya apa? Kalau Tuhan sudah Satu, kenapa harus ada tauhid?
Karena Allah swt itu Esa dalam dzat, sifat, dan af’al. Makanya tauhid Uluhiyah itu bermakna, keyakinan kita terhadap Tuhan yang Esa dalam dzat dan sifat-Nya. Sehingga tak ada satupun yang layak untuk digantungi selain Allah swt. Nah problemnya ada tauhid al-af’al; Esa dalam perbuatan Tuhan. Sebenarnya, uluhiyyah itu hasil dari Rabb. Rabb ini terma ketuhanan dalam af’al Tuhan. Kata rabbi, arti umumnya adalah memelihara, merawat, bertanggungjawab, mendidik; mengawal manusia pada penciptaan-Nya yang sempurna. Makanya ungkapan al-Qur’an itu rabbul ‘aalamin. Kesadaran inilah yang kemudian membawa pada tauhid uluhiyyah; tidak ada yang layak disembah selain Sang Pemelihara alam.
Nah, hilangnya kesadaran manusia atas tauhid Rububiyah, efeknya luar biasa. Kalau dia orang kaya, orang kuat, orang punya kekuasaan yang besar, ia akan punya potensi untuk berperilaku seperti Fir’aun. Kalau saya ini orang berkuasa, dan Anda di bawah kekuasaan saya, maka kalau saya tak menyadari bahwa kekuasaan itu bukan milik saya, bahwa sebenarnya yang ngurus saya itu Tuhan, termasuk yang ngurus Anda (yang sepertinya saya ngurus) itu adalah Tuhan, berarti saya kehilangan tauhid Rububiyah. Nah kalau satu saat, perilaku Anda tak sesuai dengan saya, saya katakan, “Anda mau hidup dengan siapa? Kalau bukan karena saya, mana mungkin Anda hidup?”
Inilah kesalahan Fir’aun. Dia menganggap dirinya Rabb dan Ilaah. Tapi anggapan dirinya sebagai Ilaah itu akibat dari hilangnya Rabb. Awal pikirannya itu sebenarnya begini; yang menciptakan semuanya adalah Allah swt, yang memberi rezeki itu Allah swt. Konsep itu ada di diri Fir’aun, karena konsep itu fitrah. Nah tapi dalam perjalanannya, ia kemudian melihat kenyataan. Fakta memperlihatkan, rakyat Mesir, dia yang menentukan hidupnya, tanah air Mesir dia yang menguasai, bahkan hidup-mati rakyat Mesir, dia yang menentukan. Dia berpikir, “Kalau saya yang menentukan hidup-mati rakyat Mesir, lha mestinya saya yang jadi Tuhan”. “Kalau memang begitu, berarti saya yang harus disembah”.

Makanya, tauhid uluhiyah itu merupakan hasil dari keyakinan seseorang akan tauhid Rububiyah. Seseorang memang tak akan menghilangkan keyakinan dia terhadap Tuhan sebagai Sang Pencipta. Tetapi kalau pertanyaannya sudah menukik, “Siapa yang memberi rezeki kepadamu?” Di sini tauhid Rububiyah diuji, bahwa hakikatnya, yang mengurus kita dan keluarga kita adalah Tuhan. Kalau begitu ketika saya mengabdi dan menyembah Allah swt sebagai Ilaah, di mana Ilaah itu sebagai dzat yang digantungi, yang menjadi pusat tujuan, yang ditakuti, dan diharapkan.

Nah, kenapa orang menjadikan pekerjaannya sebagai Ilaah? Kenapa orang menjadikan uang sebagai Ilaah? Itu karena ia lemah pada Rububiyahnya. Dia kira, dia dapat rezeki dari kerja. Dari sini kita tahu betapa pemantapan tauhid Rububiyah menjadi penting sekali. Karena Rububiyah ini menyangkut tauhid al-af’al. Saya kasih contoh lagi, Nabi Musa. Satu saat beliau berada dalam kondisi sangat sulit, karena (saat bersama kaumnya) di belakang ada Fir’aun, di depan ada laut. Kaumnya berkata, “Musa, kita tak akan selamat”. Jawab Nabi Musa, “Tidak, kita tak akan bisa terkejar, karena kita punya Tuhan”. Makanya di ayat itu kalimatnya, Inna ma’ya Rabbi, bukan inna ma’iya Ilaahi. Pertanyaannya, apakah kaum yang melontarkan tanya tadi tak percaya bahwa Tuhannya adalah Allah swt? Sebagai Ilaah dia percaya, tetapi sebagai Rabb dia lemah. Maka lemahnya keyakinan terhadap Allah swt sebagai Rabb ini yang membuat orang yang beribadah, tetapi masih menuntut kepada Tuhan, ketika hidupnya mengalami kesusahan. “Ya Allah swt, saya menyembah-Mu tetapi kenapa saya masih susah?” Nah ini khan karena ia tak memiliki kesadaran bahwa Allah swt, selain Yang Maha Disembah (Ilaah), juga Yang Memelihara Hidup (Rabb).
Kesatuan antara keyakinan Rububiyah dengan usaha manusia itu seperti apa?
Menurut saya, kesatuan ini terdapat pada usaha untuk mendudukkan secara proporsional, antara usaha dan hasil. Hidup ini menjadi susah, karena kita ikut-ikut mengurusi hasil dari usaha yang kita lakukan. Padahal wilayah kita di usaha itu. Ini terdapat dalam konsep tawakkal di Islam, menyangkut kasus shahabat. Di situ Nabi Muhammad berkata, i’qil fatawakkal ‘ala Allah swt (ikatlah, baru tawakkal kepada Allah swt). Ini terjadi ketika satu shahabat membawa kuda, bertanya pada Rasul, “Ya Rasul, apakah saya harus mengikat kuda ini atau saya tawakkal saja?”
Di sini terlihat bahwa tawakkal itu ada di titik terakhir, ketika ia ingin menguatkan tauhid Rububiyah. Jadi ketika kita tawakkal, maka sebelumnya kita harus menghilangkan sama sekali usaha yang telah kita lakukan, untuk mengembalikannya kepada Allah swt. Dari sinilah seseorang bisa memosisikan Allah swt sebagai Rabb. Maka untuk mencapai tauhid Rububiyah haruslah dimulai dengan ikhtiyar, lalu kemudian ijtihad atau profesionalitas dalam bidang yang dikerjakan, serta ihtiyath (hati-hati) agar usahanya tak menghalalkan segala cara. Nah pada titik inilah wilayah kita. Pertanyaannya adalah apakah ketika manusia sudah ikhtiyar, ijtihad, dan ihtiyath, pasti ia mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang diinginkan? Di sinilah titik tawakkal berada. Pada titik ini tawakkal kemudian menyatu dengan tauhid Rububiyah.

Al-Qur’an menyatakan, Wainsaaltakum man nazala minassamaai maa’a (siapa yang menurunkan hujan dari langit?) Siapa yang menciptakan langit dan bumi? Siapa yang memberikan rezeki? Maka al-Qur’an menyatakan, layaquulunAllah swt; mereka menjawab bahwa Allah swt yang memberi rezeki. Nah ini wilayah tauhid Rububiyah. Tetapi ketika tauhid Rububiyah tadi tidak masuk pada dirinya, maka ia tak akan menyembah Allah swt lagi. Kalaupun ia menyembah, itu bukan berangkat dari dirinya, tetapi kewajiban dari luar diri.

Jadi orang itu khan tak bisa menentukan dirinya sendiri. Kalau saya boleh milih, mestinya saya milih kerja mapan gaji besar. Makanya, kalau ada orang bahagia, itu pasti bukan karena persoalan dari luar dirinya. Misalnya, kalau ada orang miskin kok susah, itu bukan karena kemiskinannya, tetapi karena Tuhan hilang dari dirinya. Begitu juga sebaliknya; kalau ada orang kaya bahagia, itu pasti bukan karena hartanya, tetapi karena Tuhan ada dalam dirinya. Di sinilah tauhid Rububiyah bukan merupakan suatu teori, tetapi keyakinan. Sebab keyakinan itulah yang menjadikan seseorang tenang dalam hidup. Makanya, kenapa orang tak bisa meng-Ilahkan Allah swt, karena dalam praktik tauhid (tauhid Rububiyah)-nya, ia mencabang. Artinya, meskipun ia sholat, puasa, zakat, tetapi pada praktik hidupnya, ia masih meyakini bahwa sumber rezeki ya pekerjaannya. Maka, segenap ibadah ilahiyah itupun akan kehilangan makna, ketika usaha kerja tidak membuahkan hasil. “Ah, sama saja ternyata, aku sholat, puasa, tetapi tetap kena PHK”. Demikian orang itu kehilangan tauhid uluhiyah-nya, karena dalam praktik sehari-hari, ia tak memiliki tauhid Rububiyah.


0 komentar:

Popular Posts

About

Foto Saya
Afif Rahma
yogyakarta, jogja, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Followers